BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Profesi dakwah dilakukan oleh setiap muslim atau muslimat yang mukallaf (dewasa). Dimana kewajiban dakwah merupakan suatu yang melekat tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah. Lalu bagi yang belum beragama Islam, dakwah bertujuan untuk mengajak mereka mengikuti agama Islam. Sedangkan kepada orang-orang yang telah beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas iman, islam, dan ihsan.
Bagi seseorang yang berprofesi sebagai pendakwah atau biasa disebut dengan da’i, mereka harus mendalami al-Qur’an dan sunnah dan sejarah kehidupan rasul serta khulafaurrasyidin, memahami keadaan masyrakat yang dihadapi, berani mengungkapkan kebenaran kapanpun dan dimanpun, ikhlas dalam melakukan tugas dakwah tanpa tergiur oleh nikmat materi yang hanya sementara, terjauh dari hal-hal yang menjatuhlan harga diri. Sebagai seorang da’i juga harus menjaga sikap dan perilaku dan juga harus menjalankan atau melaksanakan apa yang diajarkan.
BAB II
PEMBAHASAN
- Manusia sebagai Da’i
Dakwah tidak akan ada artinya apabila tidak ada manusia. Posisi manusia dalam kegiatan dakwah yaitu sebagai pelaku dakwah dan sebagai objek dakwah. Pelaku dakwah harus bisa memahami manusia dengan berbagai macam karakter dan keunikan, meskipun itu terbilang tidak mudah. Karena dakwah akan berhasil apabila pelaku dakwah bisa mengenal diri dan objek dakwahnya. Maka dari itu, pemahaman terhadap konsep manusia sangat dibutuhkan terutama bagi orang-orang yang menggeluti dunia dakwah. Karena sesungguhnya, manusia itu membutuhkan dakwah dalam rangka meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Hakikatnya manusia dalam perspektif Islam adalah beramal saleh yang dilandasi dengan iman. Salah satu amal saleh yang dilakukan oleh manusia adalah berdakwah. Tidak akan terjadi akrivitas dan gerakan dakwah di dunia ini apabila tidak ada manusia yang melakukannya. Karena manusia menjadi unsur utama dalam kegiatan dakwah. Bahkan, keberhasilan dakwah banyak ditentukan oleh pelaku dakwah itu sendiri.
- Da’i
Secara bahasa perkataan da’i merupakan isim fail dari kata da’a – yad’u – da’watan – daiyah yang berarti orang yang mendirikan dakwah. Arti ini masih bersifat umum artinya bisa mendirikan dakwah ila al-Thagut (ke jalan kesesatan) atau ila al-Islam (ke jalan keselamatan).
Sedangkan arti da’i secara istilah berarti orang menyampaikan Islam, orang yang mengajarkan Islam dan orang yang berusaha untuk menerapkan Islam. Seperti firman Allah, dalam QS. Al-Ahzab (33) ayat 45-46:
(يأيُّها النَّبِىُّ إنّا أرْسَلْنكَ شهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِرًا (٤٥) وَدَا عِيًا إِلَى اللهِ بِإذْنِهِ وَسِرَا جًا مُّنِيرًا (٤٦
45. Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan,
46. dan untuk menjadi penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi.
Jumhur ulama sepakat tentang pengertian da’i sebagai sunbjek dakwah. Perbedaan interpretasi terjadi tentang pengertian tersebut manakala pengertian da’i dikaitkan dengan fungsi atau tugas dari seorang da’i. Beberapa arti yang biasa digunakan para ilmuwan dalam mengartikan da’i yang relevan dengan tugasnya seperti pendidik, mubaligh, pemimpin, guide, pelopor umat, teladan umat, dan sebagainya. Syahadah yang menjadi tugas da’i ada dua macam yaitu, sebagai berikut:
1. Syahadah qauliyah, terekspresikan dalam karya para penulis dan penceramah dengan menjelaskan kebenaran dan menggunakan semua sarana dalam rangka menanamkannya secara mantap dalam hati.
2. Syahadah amaliyah, mewujudkan kesaksian dalam bentuk perbuatan di dunia ini dan dijadikan sebagai pedoman dasar.
Persoalan yang muncul ketika berbicara tentang tugas da’i yaitu sipakah yang berkewajiban untuk melaksanakan tugas tersebut. QS. Al-Imran (3) ayat 104 yang dijadikan sebagai landasan menetapkan kewajiban dakwah oleh para ulama diinterpretsikan dalam dua sudut pandang yang berbeda, yaitu sebagai berikut:
1. Menurut Ibnu Katsir, sebagian ulama menafsirkan tugas kewajiban dakwah adalah khusus bagi sahabat, ulama, dan mujahidin.
2. Menurut ulama lain, menafsirkan kewajiban dakwah adalah kewajiban setiap individu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ
“Barangsiapa melihat kemunkaran diantara kamu maka ubahlah dengan tanganmu, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisanmu, jika tidak mampu cukuplah dengan hati. Dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
C. Kepribadian Seorang Da’i
Seorang da’i yang dimaksud yaitu da’i yang bersifat umum. Artinya bukan saja da’i yang profesional, akan tetapi berlaku juga untuk setiap orang yang hendak menyampaikan, mengajak orang ke jalan Allah. Sebab Rasulullah SAW bersabda:
بَلِّغُوْا عَنِّيْ وَلَوْ ايَةً (رواه البخري)
Sampaikanlah (ajaran) dari padaku walaupun itu hanya satu ayat. (HR. Bukhari).
Setiap orang yang melakukan dakwah seharusnya memiliki kepribadian yang baik sebagai seorang da’i. Sebab kata Prof. Dr. Hamka (18:222): “Jayanya atau suksesnya dakwah memang sangat bergantung kepada pribadi dari pembawa dakwah itu sendiri, yang sekarang lebih populer kita sebut sebagai da’i.” Berikut ini kepribadian-kepribadian yang harus dimiliki seorang da’i, yaitu:
1. Kepribadian yang bersifat rohani
a. Sifat-sifat seorang da’i
1) Iman dan taqwa kepada Allah
Seorang da’i dalam membawa misi dakwahnya diharuskan terlebih dahulu dirinya sendiri dapat menerangi hawa nafsunya, sehingga diri pribadi ini lebih taat kepada Allah dan Rasulnya dibandingkan dengan sasaran dakwahnya. Seperti dalam firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 44, yang berbunyi:
(اَتَأْ مُرُوْنَ النَاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتَابَ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ (٤٤
44. Apakah kamu menyuruh manusia berbuat kebaikan, padahal kamu lupa terhadap dirimu sendiri! Sedangkan kamu sama membaca kitab Tuhan, apakah kamu tidak berpikir?
Sifat ini sangatlah penting, sebab seorang da’i tanpa memiliki sifat ini (iman dan taqwa), janganlah diharapkan keberhasilannya. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 8-9, yang berbunyi:
وَمِنَ النَاسِ مَنْ يَقُوْلُ امَنَّا بِاللهِ وَبِاليَوْمِ اْلآخِرِ وَمَاهُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ (٨) يُخَادِعُنَ اللهَ وَالَّذِيْنَ امَنُوْا وَمَا يَخْدَعُوْنَ اِلاَّ
(٩) اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ
8. Dan diantara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.
9. Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari.
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berdakwah kepada orang lain, sedang dirinya sendiri belum iman dan taqwa kepada Allah, laksana ia menipu Allah dan orang mukmin (orang-orang yang beriman). Dimana hakikat menipu Allah takubahnya menipu diri sendiri. Orang semacam ini akan dihancurkan oleh Alla SWT.
2) Tulus ikhlas dan tidak mementingkan kepentingan diri pribadi
Niat yang lurus tanpa pamrih duniawiyah belaka. Karena dakwah adalah pekerjaan yang bersifat ubudiyah atau terkenal dengan istilah hablullah, yaitu amal perbuatan yang berhubungan dengan Allah. Seperti sabda Nabi berikut ini:
اِنَّمَااْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ , وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى , فَمَنْ كَنَتْ هِجْرَ تُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلَاالدُّنْيَا يُصِيْبُهَا اَوْاِمْرَأْةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ اِلى مَا هَا جَرَ اِلَيْهِ (رواابخري وسلم عن عمر بن الحطاب)
Sesungguhnya segala pekerjaan dengan niat dan bawasannya bagi setiap urusan (perbuatan) seseorang tergantung denga apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrah menuju keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahlah itu karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrah karena duniawiyah (harta kekayaan, tahta) atau wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kearah yang ditujunya. (HR. Bukhari-Muslim dan Umar Ibnu khatab).
Inti dari ayat di atas yaitu dalam berdakwah di jalan Allah haruslah dengan keikhlasan, bukan dengan mengharapkan imbalan atas apa yang kita lakukan. Karena dengan niat yang tulus dan ikhlas, insya Allah semua yang kita lakukan akan berhasil.
3) Ramah dan penuh pengertian Dalam dunia dakwah seorang da’i haruslah mempunyai kepribadian yang menarik, karena keramahan, kesopanan, dan keringa-tanganan insya Allah akan berhasil. Sebaliknya jika mempunyai kepribadian yang membosankan (tidak menarik) karena sifat yang tak menarik hati tentulah pekerjaannya kecil kemungkinannya untuk berhasil. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Imran ayat 159, yang berbunyi:
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَا اْلقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْلَهُمْ (۱۵۹)
159. Jika engkau keras dan kasar hati, niscaya mereka itu akan beralih dari keliling engkau. Oleh karena itu maafkanlah mereka itu dan mohonkanlah ampun untuk mereka...
4) Tawadhlu (rendah hati)
Sopan dalam pergaulan, tidak sombong dan tidak suka menghina dan mencela orang lain. Atau dalam bahasa jawa disebut dengan andap asor.
5) Sederhana dan jujur
Kesederhanaan yang dimaksud yaitu bukanlah selalu ekonomis dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, akan tetapi kesedarhanaan yang dimaksud disini yaitu tidak bermegah-megahan, angkuh dan lain sebagainya. Sehingga orang tidak merasa segan. Orang akan percaya terhadap segala ajakannya, apabila sang pengajak sendiri dapat dipercaya, tidak menyelisihi apa yang dikatakannya.
6) Tidak memiliki sifat egoisme Seorang da’i atau pendakwah yang angkuh dalam pergaulan, merasa terhormat, lebih pandai, dan sebagainya tidak akan disukai oleh orang-orang atau masyarakat.
7) Sifat anthusiasme (semangat)
Semangat berjuang harus dimiliki oleh seorang da’i, sebab dengan sifat anthusiasme orang akan terhindar rasa putus asa, kecewa lain sebagainya. Digambarkan dalam sajak Prof. Dr. Hamka (18:226) yang berbunyi:
“Sukses berpidato orang bertepuk
Lapar anakmu tanggungkan seorang
Jika hutangmu telah bertumpuk
Jangan diharap bantuan orang.”
8) Sabar dan tawakkal
Dalam menunaikan tugas berdakwah pasti akan mengalami beberapa hambatan dan cobaan. Maka hendaklah sabar dan tawakal kepada-Nya. Sesungguhnya orang yang sabar dan tawakal adalah perbuatan yang disukai Allah.
9) Memiliki jiwa toleransi
Dalam bahasa jawa biasa disebut dengan istilah “empan mawa papan,” artinya dimana tempatnya, seorang da’i harus dapat mengadaptasikan dirinya dalam artian positif. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Kafirun ayat 6, yang berbunyi:
(٦) لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
6. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.
Arti toleransi dalam yang dimaksud disini yaitu toleransi adlam artian penuh pengertian serta alam hal yang positif (menguntungkan bagi dirinya maupun agamanya / orang lai).
10) Sifat terbuka (demokratis)
Bila ada kritik dan saran hendaknya diterima dengan hati gembira, mengalami kesulitan sanggup memusyawarahkan dan tidak berpegangteguh kepada pendapat (ide) yang kurang baik, karena manusia adalah makhluk yang jauh dari kesempurnaan.
11) Tidak memiliki penyakit hati
Sombong, dengki, ujub, iri, dan sebagainya haruslah disingkirkan dalam hati sanubari seseorang yang hendak berdakwah. Sebab tanpa dibersihkan dari sifat itu, tak mungkin tujuan dakwah seseorang akan tercapai.
b. Sikap Seorang Da’i
Kebanyakan orang akan melihat sikap orang terlebih dahulu, daripada melihat ajakannya. Walaupun dikatakan dalam hadits Raulullah SAW, yang berbunyi:
اُنْظُرْ مَا قَالَ وَلَا تَنْظُرْ مَنْ قَالَ (الحديث)
“Lihatlah apa yang dikatakan dan janganlah kamu melihat siapa (orang) yang mengatakan.” (Al Hadits)
1) Berakhlak mulia
Berbudi pekerti yang baik (akhlaqul karimah). Bahkan Prof. Dr. Hamka mengatakan dalam bukunya, ialah “Alat dakwah yang paling utama ialah akhlak.” Rasulullah secara tegas bersabda:
اِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَا رِمَ اْلأَخْلَاقِ (رواه احمد)
“Sesungguhnya aku (Rasulullah) diutus (oleh Allah di dunia ini) tak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak (budi pekerti) yang mulia.” (HR. Ahmad).
2) Hing ngarsa asung tuladha, hing madya mangun karsa, tutwuri handayani
Hing ngarsa asung tuladha; artinya seorang da’i haruslah dapat menjadi tauladan yang baik bagi masyarakat. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Ahzab ayat 21, yang berbunyi:
(٢١) لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
21. Sesungguhnya ada bagi engkau, di dalam Rasulullah SAW, suatu suri tauladan yang baik.
Hing madya mangun karsa; artinya bila ditengah-tengah massa, hendaknya dapat memberi semangat agar mereka senantiasa mengerjakan, mengikuti segala ajakannya.
Tutwuri handayani; artinya bila bertempat di belakang, mengikutinya, dengan memberi bimbingan-bimbingan agar lebih meningkat amalannya ( keimanannya).
3) Disiplin dan bijaksana
Bersikap acuh tak acuh itu sangat tidak disenangi orang lain. Oleh karena itu, disiplin dalam artian luas sangat diperlukan oleh seorang da’i dalam mengemban tugasnya sebagai mubaligh. Begitu juga harus bijaksana dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai keberhasilan dakwahnya.
4) Wira’i dan berwibawa
Sikap yang wira’i menjauhkan perbuatan-perbuatan yang kurang berguna dan mengindahkan amal saleh, salah satu hal yang dapat menimbulkan kewibawaan seorang da’i. Sebab kewibawaan merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang akan percaya menerima acakannya.
5) Tanggungjawab
Sebagai seorang da’i harus bisa mempertanggungjawabkan segala ajaran yang mereka ajarkan kepada masyarakat.
6) Berpandangan yang luas
Seorang da’i dalam menentukan strategi dakwahnya sangat memerlukan pandangan yang jauh, tidak fanatik terhadap satu golongan saja dan waspada dalam menjalankan tugasnya.
7) Berbengetahuan yang cukup
Seorang da’i di dalam kepribadiannya harus pula dilengkapi dalam ilmu pengetahuan, agar pekerjaannya dapat mencapai hasil yang efektif dan efisien. Pengetahuan seorang da’i meliputi pengetahuan yang berhubungan dengan materi dakwah yang disampaikan dan ilmu-ilmu yang erat hubungannya dengan teknik-teknik dakwah.
2. Kepribadian yang Bersifat Jasmaniyah
a. Sehat jasmani
Dakwah memerlukan akal yang sehat, sedangkan akal yang sehat terletak pada badan yang sehat atau kata Aristoteles “ men sana in copore sano.”
b. Berpakaian necis
Pakaian laksana mahkota indah bagi manusia. Pakaian juga menambah kewibawaan seseorang. Oleh karena itu, seorang da’i harus memperhatikan pakaian yang mereka pakai, karena pakaian juga menunjukkan kepribadiannya. Yang dimaksud dengan pakaian yang pantas yaitu pakaian yang serasi antara tempat, suasana, dan keadaan tubuhnya. Serta bukan pakaian yang serba baik, serba baru, dan serba mahal. Mengenai serasi dan tidaknya, hal ini memanglah sangat tergantung pada kepribadiannya masing-masing, dengan catatan masih dalam kalangan manusia pada umumnya.
Sementara itu, untuk mewujudkan seorang da’i yang profesional yang mampu memecahkan kondisi mad’unya sesuai dengan perkembangan dan dinamika yang dihadapi oleh objek dakwah, ada beberapa kriteria. Adapun sifat-sifat penting yang harus dimiliki oleh seorang da’i secara umum, yaitu:
1. Mendalami al-Qur’an dan sunnah dan sejarah kehidupan Rasul serta khulafaurrasyidin.
2. Memahami keadaan masyarakat yang akan dihadapi.
3. Berani dalam mengungkapkan kebenaran kapan pun dan dimana pun.
4. Ikhlas dalam melaksanakan tugas dakwah tanpa tergiur oleh nikmat materi yang hanya sementara.
5. Satu kata dengan perbuatan.
6. Terjauh dari hal-hal yang menjatuhkan harga diri.
D. Kompetensi Da’i
Berikut kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang da’i, yaitu:
1. Kompetensi personal, menekankan pada kemampuan yang berkenaan dengan:
a. Kemampuan moralitas, mengantarkan setiap pribadi membina tata pergaulan yang seimbang antara hak dan kewajiban, antara individu, keluarga dan masyarakat; antara hamba Allah dan khaliknya; antara kebutuhan rohani dan jasmani; antara tradisi, budaya, dan transformasi; dan antara sebagai warga negara dan sebagai pemeluk agama yang taat.
b. Kemampuan intelektual, mengantarkan da’i pada kemampuan beradaptasi dengan perkembangan yang terjadi, seperti pemanfaatan teknologi informasi dalam setiap kegiatan dakwah. Da’i memiliki kreativitas dalam menjalankan aktivitas kedakwahan dan dalam mempersiapkan masa depan.
2. Kompetensi sosial
Dalam ajaran Islam, keyakinan agama atau akidah perlu diaplikasikan dalam kesalehan sosial atau tauhid sosial. Menurut Amin Abdullah, isu-isu sosial kemanusian tidak dapat ditangani hanya lewat pemahaman akidah atau keyakinan agama yang lebih menekankan pada kesalehan individual, melainkan dengan upaya-upaya praksis yang mengarah pada keselamatan sosial.
Karakteristik saleh sosial digambarkan dalam pribadi yang pemurah dan bijak terhadap setiap kenyataan yang dihadapi serta memiliki sikap simpati dan empati. Da’i juga dapat mengambil peran dalam bentuk keahlian sosial. Keahlian sosial dapat diwujudkan dalam bentuk kemampuan membangun tim dan menjalin interaksi secara konstruktif. Dengan kemampuan ini, dalam diri da’i akan tumbuh sikap kepemimpinan yang baik, keahlian dalam hubungan interpersonal, intim dan dapat dipercaya, mampu mengatur konflik, dan aktif mendengar berbagai keluhan dan masukkan, serta berbagai keahlian sosial lainnya.
3. Kompetensi substantif
Berkenaan dengan kemampuan da’i dalam penguasaan terhadap pesan-pesan atau materi-materi yang akan disampaikan kepada objek dakwah. Dalam hal ini, da’i harus memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas tentang Islam baik yang menyangkut akidah, syariah maupun muamalah.
4. Kompetensi metodologis
Berkenaan dengan kemampuan dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah secara efektif dan efisien. Da’i yang memiliki kemampuan metodologis ditandai dengan kemampuan:
a. Berkomunikasi
b. Mengenal kebutuhan objek dakwah
c. Menggunakan teknologi informasi
E. Prinsip-prinsip Pelaku Dakwah (Da’i)
Menurut Quraish Shihab, dari masing-masing wahyu pertama al-Qur’an telah terlihat dengan jelas prinsip-prinsip pokok yang digariskan bagi manusia pelaku dakwah, yaitu:
1. Da’i harus selalu membaca yang tertulis dan tertulis segala hal yang berhubungan dengan masyarakatnya agar dakwahnya selalu segar dan menyentuh.
2. Da’i harus siap mental mengahadapi situasi yang akan dialami.
3. Da’i harus memiliki sikap mental yang terpuji, sadar akan imbalan yang akan didambakan dari upaya dakwa sesuai dengan surah al-Mudatsir.
Ada beberapa faktor yang ikut berkontribusi dalam gerakan dakwah remaja yang ada dimasyarakat. Hal ini dipertegas oleh Abdul Basit dengan mengatakan:
Ketidakpuasan dalam frustasi yang dialami remaja dalam kehidupan sosial, dalam kehidupan remaja yang krisis dan suka membrontak dan dipengaruhi oleh berbagai kejadian yang ada baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Bahkan kontribusi nyata yakni adanya proses interaksi antara remaja, lingkungan, ajaran islam dan tujuan tujuan dakwah yang dicapainya. Proses nilai-nilai dakwah tersebut dalam realitasnya dapat ditularkan pada remaja-remaja lain.
F. Penyebab Gagalnya Dakwah
Berikut ini beberapa penyebab gagalnya dakwah, yaitu:
1. Su’uzhan, perkiraan yang berubah menjadi penyifatan terhadap orang lain dengan segala keburukan yang menimbulkan kedudukan pada orang itu tanpa disertai bukti dan alasan.
2. Ghibah, menceritakan orang lain saat dia tidak ada, baik cerita itu menyangkut perkara yang disukai maupun tidak disukainya, dan baik cerita itu mengenai kebaikan maupun keburukannya.
3. Namimah, memindahkan pembicaraan sebagian orang kepada sebagian yang lain dengan tujuan membuat kerusakan diantara mereka.
4. Faudhal waqti, mencampurkan berbagai perkara dan memandangnya berada pada satu tingkat kepentingan dan keuntungan.
5. Taswif, menangguhkan dan menunda pelaksanaan sesuatu yang diminta sehingga menimbulkan ketakutan dan kehebatan, baik itu berupa janji maupun ancaman.
G. Contoh Kegiatan Dakwah
Di Indonesia, perkembangan oraganisasi dakwah bukan hanya terjadi di lingkungan pelajar dan mahasiswa, melainkan juga merambah ke masyarakat khusunya dikalangan remaja masjid. Salah satu organisasi tersebut yaitu RISKA (Remaja Islam Sunda Kelapa). RISKA terbentuk dari komunitas pengajian di jalan Subang, Menteng Jakarta, kemudian berkembang menjadi remaja masjid yang ada di bawah pembinaan Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK). Di RISKA kegiatan remaja masjidnya, selain kajian Islam, juga ada penyaluran bakat dan minat serta kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti kegiatan futsal, arung jeram, grafiti, jurnalistik, pop song, public speaking. Dengan adanya kegiatan tersebut, RISKA telah melakukan perubahan paradigma dikalangan para remaja masjid tidak hanya melakukan kegiatan pengajian saja, tetapi melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh organisasi remaja pada umumnya.
Terdapat titik tolak
yang di lakokan oleh Abdul Basit, mengatakan bahwa terdapat beberapa saran
untuk peningkatan kualitas remaja dan pengembangan dakwah dikalangan remaja:Pertama, ditengah-tengah krisis
identitas dan karakter yang melanda remaja Indonesia pada saat ini, maka perlu
diperdayakan organisasi-organisasi remaja yang focus pemberdayaannya pada
penguatan institute yang berhubungan remaja, khususnya institute agama. Kedua,
ajaran islam yang bersumber dari Allah dan menjadi sumber nilai merupakan
ajaran yang dialogis, transformasif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh
karena itu agar ajaran lebih fungsional perlu digerakan oleh organisasi dakwah
yang professional dan terstruktur dengan baik. Ketiga, dalam proses
pelembagaan nilai-nilai agama yang diperlukan adanya sinergi yang kokoh antara
pelaku, sumber nilai, lingkungan social dan system organisasi yang tertata
dengan baik sehingga mencapai tujuan yang diharapkan. Keempat, Takmir
masjid, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi dan
seluruh elemen masyarakat hendak lebih memperhatikan dan memberdayakan remaja
dalam berbagai aktivitas kehidupan masyarakat.
BAB III
KESIMPULAN
Di dalam dunia dakwah, manusia berperan sebagai pelaku dakwah dan objek dakwah. Pelaku dakwah biasa disebut dengan da’i. Sebagai seorang da’i harus bisa memahami karakteristik dan keunikan yang terdapat dalam diri orang lain, supaya dakwah yang dilakukan bisa tewujud sesuai dengan harapan. Da’i juga harus bisa mengamalkan apa yang mereka ajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pembuktian bahwa selain mengajak tapi juga bisa mencontohkan. Sehingga masyarakatpun akan percaya.
Daftar Pustaka
Basit, Abdul, Filsafat Dakwah, Depok: Rajawali Pers, 2017
Aziz, Ali Moh, Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2004
Syukir, Asmuni, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983
Basit, Abdul, Dakwah Remaja, Pureokerto: STAIN Press, 2011
Nuh, M Sayyid, Penyebab Gagalnya Dakwah, Jakarta: Gema Insani Press, 1998